Cari Blog Ini

Selasa, 28 Juli 2020

Setitik Asa|| Cerpen

Sumber gambar: https://pin.it/2iW0kac

Tik.. tok.. tik.. tok..
Dentuman jam telah menunjukan pukul 03.00 dini hari, malam ini begitu sunyi hanya suara jangkrik yang terengar menggema di seluruh ruangan. Aku mengemasi hasil kerja kerasku semalaman suntuk.
      Aku baru saja menyelesaikan Tugas UAS untuk dikumpulkan beberapa jam lagi. Aku mulai merasa bosan menjalani kuliah online dari rumah, tugas-tugas yang rumit dan sulit diberikan sebagai pengganti perkuliahaan, belum lagi persoalan ekonomi yang juga membuatku sakit kepala.
     Sudah tiga bulan lebih aku berada di rumah sebab Indonesia sedang dilanda pandemi covid-19 yang juga melanda negara-negara lain diseluruh dunia. Aku mengetahui tidak hanya mahasiswa dan siswa yang dirumahkan tetapijuga para pekerja, bahkan banyak yang harus kehilangan pekerjaan.Tidak kecuali aku yang juga harus berhenti kerja part time sejak tiga bulan lalu, sekarang tabunganku sudah hampir habis mungkin hanya cukup untuk membeli paket internet bulan depan. Aku memutuskan untuk beranjak dari meja belajar dan tidur sebentar sebelum adzan subuh berkumandang. Namun, aku tidak kunjung tertidur pikiranku justru melayang jauh. Aku teringat bahwa perkuliahan semester ini sudah selesai itu berarti pelaksanaan KKN juga akan segera dimulai.

“Aaahhh bagaimana pelaksanaan KKN tahun ini” gerutuku memecah keheningan malam.

     Aku masih berusaha mencari posisi yang nyaman untuk tidur saat aku teringat beberapa tanggungan agenda yang harus aku selesaikan. Aku terduduk berusaha meraih notebook dimeja dekat kasur. Rupanya cukup banyak agenda yang harus ku selesaikan dalam waktu dekat ini. Aku merasa sedikit malas melaksanakan agenda yang sudah tersusun rapi di halaman belakang buku catatanku. Namun apa bisa dikata, jadwal ini sudah aku susun jauh sebelum adanya pandemi covid-19.
Kopi dimeja sudah tinggal setengah cangkir dan tentu saja sudah mulai dingin, tidak terasa sudah hampir dua jam aku duduk merenung dibawah pohon Kersen di belakang rumah. suasana kota jadi lebih sejuk akhir-akhir ini, mungkin salah satu efek positif dari PSBB yang diterapkan dikotaku hingga berkurangnya aktifitas kendaraan bermotor. Aku berfikir tentang banyak hal mulai dari perkuliahan, kondisi perekonomian keluarga yang kian hari kian sulit, hingga mau jadi apa aku nanti setelah lulus kuliah, sebuah perkara yang tidak pernahku pikirkan sebelumnya. Aku berfikir untuk ambil cuti kuliah semester depan, takut merepotkan orang tua jika aku tidak bisa membantu mencari uang sendiri untuk membayar uang kuliah dan keperluan lainnya. Selama beberapa bulan terakhir penggunaan paket internet data terbilang sangat besar bagaimana tidak semua perkuliahaan dilaksanakan secara online menggunakan aplikasi tatap muka. Sedangkan, paket internet gratis yang dijanjikan tidak bisa digunakan sebab hanya bisa digunakan untuk aplikasi tertentu yang tidak digunakan dalam perkuliahan kali ini. Pendapatan bapak sebagai tukang pijat pun berkurang drastis, belum lagi banyaknya pengeluaran yang harus ditanggung seorang diri, mulai dari kebutuhan makan, membayar air , listrik, belum lagi jika buku tulis adik-adik habis. Aku jug atidak bisa banyak membantu, sekurang-kurangnya aku tidak menambah pengeluaran. Aku kembali merenung sembari menikmati ketela rebus yang baru diantar adikku, aku mengingat kembali rencana -rencana yang sering ibu bicarakan denganku. Sebagai anak laki-laki pertama tentu seringkali ibu bertukar pikiran dengan diriku. Aku teringat harapan ibu yang selalu beliau katakan, bahwa aku harus lulus tepat waktu. rasanya tidak tega menyampaikan keinginan untuk cuti kuliah dulu.Aku takut membuatnya sedih, lagipula pasti beliau akan menjawab

“Itu sudah tanggung jawab ibu dan bapak untuk menyekolahkanmu dan adik-adik Adnan”.

     Akhirnya, Aku memberanikan diri untuk mengajak ibu berdiskusi mengenai ide cuti kuliah itu. Seperti yang sudah aku duga sebelumnya, ibu tidak setuju. Aku memang lebih dekat dengan ibu, sehingga sebelum melakukan apapun aku akan berdiskusi dulu dengan ibu, baru disampaikankepada ayah jika diskusi kami tidak berujung pada keputusan final.

Ayahmu pasti tidak  akan setuju Nan, itu akan melukai gengsinya sebgai seorang ayah. kan ibu sudah sering bilang yang diinginkan ayahmu hanya mensekolahkan anak-anaknya hingga lulus kuliah”sambil beranjak
meninggalkan aku seorang diri.
Aku diam tidak lagi berargument, sudah lebih dari setengah jam lamanya aku menjelaskan alasanku untuk cuti kuliah, tapi tidak juga diberikan izin. Zidan datang membawa sepiring pisang goreng yang masih mengepulkan asap tanda baru diangkat dari wajan. Tidak lama ibu keluar lagi dari pintu dapur tampak membawa dua cangkir kopi untukku dan bapak yang sedang mandi tidak lupa secangkir teh hangat untuk dirinya sendiri. Aku diam tidak lagi berbicara, begitupun juga ibu. Aku sedang berusaha mengingat-ngingat saudara yang mungkin saja membutuhkan karyawan diusahanya.

“Ibu lihat di televisi tadi siang yang terjangkit bertambah banyak, ibu jadi khawatir sama bapakmu kalau tetap bekerja dan harus bertemu orang-orang diluar sana.” kata ibu membuatku tersadar dari lamunan.
“Adnan bantu cari pemasukan tambahan ya bu” jawabku sambil mengangkat cangkir kopi.
“mau kerja apa nan, kuliah saja belum lulus kok mau kerja. Selesaikan dulu kuliahmu”
“kuliah adnan udah mulai libur, sambil nunggu KKN adnan bisa kerja apa aja, ya kerja yang ada.”
“nggak usah aneh-aneh”
“Adnan kemarin coba chat mas Bara, Adnan nanya-nanya tentang usaha pak dhe katanya Alhamdulillah masih berjalan baik, banyak pesanan dalam kota buk, Adnan mau bantu-bantu disana.”
“Terserah kamu nan, asal tidak mengganggu kuliahmu”  jawab ibu, membuatku lega.

     Tanpa berlama-lama lagi aku kirim pesan ke mas bara bahwa besok aku akan main kerumahnya.
Siang itu aku sedang membantu Pak Dhe Juhri memelitur meja kursi untuk dikirim minggu depan. Hari ini genap dua minggu aku bekerja di Tempat pak dhe Suwandi. Pak dhe punya usaha mebel yang cukup besar dan maju. Usaha ini PakDhe rintis sejak ia muda dan belum menikah. Aku bertemu dengan banyak orang disini dan juga mendapat banyak cerita mengenai kehidupan. 
      Mereka selalu berbagi cerita dan pengalaman hidup. Aku selalu mendengarkan dengan khidmad. PakDhe Juhri adalah salah satu karyawan PakDhe Suwandi, beliau bercerita tetangganya harus bercerai dengan istrinya lantaran tidak bisa memberikan uang belanja. Aku terhitung masih beruntung katanya, masih bisa kuliah dan makan tiga kali sehari. Jika dipikir-pikir apa yang dikatakan Pakde Juhri ada benarnya juga.Banyak orang yang jauh lebih kesulitandari pada aku.

“Rejeki itu bukan hanya uang, rumah mewah, mobi mewah nan.., tapi juga kesehatan, keluarga dan peluang untuk belajar. Jangan banyak mengeluh apa lagi berfikir yang tidak-tidak soal kehidupan.” 

kata Pakde Juhri saat aku mengeluh mengenai kuliahku.
Aku tersadar selama ini aku terlalu berfikir negatif tentang kehidupan, terlalu banyak ketakutan. Aku memutuskan tidak jadi mengambil cuti kuliah. Aku akanmenjalani dengan sebaik mungkin apapun yang seharus aku jalani. Pandemi ini tidak boleh membunuh semangat belajarku apalagi keyakinanku pada hidup. Aku sadar semua akan baik-baik saja selama kita mau berusaha dan tentu diiringi dengan do’a. Pandemi bukan halangan untuk tidak berbuat apa-apa, pandemi ini mungkin memang menghambat kehidupan kita namun, bukan menghentikan roda kehidupan. Keringat yang membasahi tubuhku menjadi saksi bahwa aku tidak menyerah pada keadaan.


Oleh: Ruhana Roisyatul Azizah, Mahasiswa Aktif IAIN Kediri

5 komentar: