Cari Blog Ini

Sabtu, 25 Januari 2020

Bangkitlah



Oleh : Sandal Jepit

Sudahlah
Sembunyikan semua duka
Berceritalah dengan sang Kuasa
Pastikan hatimu 'kan tenang
Jiwamu 'kan Tentram

Bersujudlah diatas sajadah merahmu
Dalam sepertiga malam nanti
Tumpahkan semua
Jangan sembunyikan lagi
Dia maha mengetahui
Menyayangi semua hambanya

Sudahlah
Kembali tersenyum
Meski senyum itu hanya topeng
Kembali tertawa
Meski tangis adalah kenyataan yang ada

Usap air mata yang jatuh
Jangan kau tumpahkan lagi
Bagaskara memandangmu
Menunggu engkau hadir dan tersenyum kembali

Bojonegoro, 25 Januari 2020

Jumat, 24 Januari 2020

Nota Puisi

Nota Puisi
1. Jangan lekas menulis. Rasakan, resapkan, masukkan ke dalam dirimu daya dan tenaga puisi bahasa.

2. Bahasa punya daya estetika. Puisi wujudnya. Penyair? Dia yg tahu betapa berbahaya daya itu!

3. "kah" itu partikel penegas. Tapi, kadang dia malah terasa membuat ragu. Ia bisa memperindah, tapi kadang bikin semak. Coba rasa-rasakan!

4. Kata selalu gagal menjadi makna yang utuh dan tunggal. Puisi memanfaatkan ketaksempurnaan itu!

5. kata tak pernah punya makna utuh dan tunggal. Puisi pandai memanfaatkan ketaksempurnaan itu.

6. Puisi itu tidak menyimpulkan, ia mengajak merasa dan memikirkan. Puisi itu tidak memaksakan jawab, ia menawarkan pertanyaan.

7. Puisi itu berasal dari dirimu, tapi ia bisa saja menjadi sesuatu yang tidak tentangmu lagi. Bebaskan dia, bebaskan dirimu!

8. Puisi bukan kalimat-kalimat yang berdandan. Tapi, ia juga bukan kata yang telanjang. Ia memoles diri dengan wajar!

9. Menulis puisi harus juag menjadi upaya menyegarkan bahasa. Bahasa, itu bisa kusut, basi, tua dan mati. Puisi bisa jadi penyebab.

10. Bahasa menyediakan banyak pilihan cara ucap. Puisi memilihnya? Tidak, dia berhasrat untuk bikin cara baru!

11. Metafora, analogi, perbandingan, perumpamaan. Mereka mungkin darahnya puisi. Bikin mereka panas dan mengalir deras.

12. Aku ini binatang jalang, kata Chairil. Tak ada yg pakai itu sebelum ia "menemukan". Ini metafora yg dahsyat markosat!

13. PUISI itu seni. Ada tangga yang harus kau jejaki untuk sampai ke tingkat itu, nun di atas sana. Temukan tangga itu.

14. KEINDAHAN, juga keindahan bahasa, seringkali sembunyi di balik hal-hal biasa. Dia menunggu kita membuka hati dan mata.

15. Coba sajakkan rumah, tapi di sajakmu rumah tak lagi hadir sebagai rumah!

16. Kita menyimpan "rumah" di kepala, dan serta-merta terhubung saat bertemu kata "rumah". Demi puisi, patahkan hubungan itu!

17. Berpuisi itu memuliakan bahasa. Caranya? Jika bahasamu masih ada menyediakan kata, maka pakailah! Nanti dulu kata asing itu.

18. Bahasa menyediakan pilihan kata. Gramatika memungkinkan kalimat disusun dengan banyak cara. Puisi kegirangan! Ikut?

19. Metafora yang baik adalah yang matang. Yang segar, langsung dipetik dari kebun katamu. "Aku tak mau jadi layu," kata puisimu

20. Maukah kau jadi orang yang kaya kata? Tambahlah satu kosakatamu setiap hari. Puisi akan senang sekali.

21. Diksi? Itu adalah kemahiran memilih kata, menciptakan berbagai kemungkinan pengucapan.

22. Tapi diksi omong kosong belaka jika kosakatamu tak kaya, jika kau fakir kata.

23. Menjadi Penyair itu adalah kesadaran, daya tahan, & kecintaan. Kau tak akan disebut empu dengan menempa satu keris saja!

24. Personifikasi, ketika benda-benda dimanusiakan, memanusia, bergerak, bicara, merasa. "Bahasa memungkinkan itu!" Kata Puisi.

25. Personifikasi itu daun melambai, langit murung, bumi tabah. Bayangkan alam berpikir, merasa, bertindak sepertimu.

26. Ibarat menggambar jangan asal coret. Pandang lebih lama kertas kosong itu. Rasakan tubuh pensil di tanganmu. Sabarlah dengan puisi

27. Puisi bukan kadar sekadar menyalin perasaan. Puisi itu mengalirkan. Kelak ada pembaca yang perasaannya juga hanyut di aliran itu.

28. Puisi itu mengelola perasaan, bukan mengumbarnya. Puisi itu mengolah bahasa, itu bedanya dengan bahasa yang bukan puisi.

29. Dalam puisi kau bisa jadi apa saja: langit, laut, daun, hujan. Tapi, lebih dahulu kau harus fasih jadi dirimu sendiri!

30. Ada kesempatan untuk masuk ke dalam diri sendiri, merenung, saat kau mulai menulis puisi. Ini kesempatan baik. Manfaatkanlah.

31. Pada mulanya yang primer dalam bahasa itu adalah bunyi. Huruf itu sekunder, lambang bunyi. Dengan puisi kita boleh bermain bunyi.

32. Menulis itu keterampilan, bisa dimahirkan. Menulis itu gairah, harus dipertahankan. Menulis juga bakat, wajib dipertanggungjawabkan.

33. Bakat saja tanpa keterampilan? Ini seperti jagoan memancing yang cuma berdiri di tepi sungai. Tak akan ada ikan yang tertangkap!

34. Prosa, kata Kuntowijoyo, adalah strukturisasi dari tiga hal: pengalaman, imajinasi, dan nilai-nilai. Saya kira puisi juga begitu.

35. Hidup dari waktu ke waktu, adalah tabungan pengalaman, bahan terbaik untuk puisi kita.

36. Nilai-nilai adalah cara kita bersikap, berpikir, bereaksi terhadap segala peristiwa di sepanjang pengalaman kita.

37. Bagi saya, imajinasilah yang paling berperan menentukan hasil upaya kita menyusun suatu bentukan bahasa bernama PUISI itu.

38. Bagaimana mengolah pengalaman, nilai, dan imajinasi sebagai bahan puisi? Kita perlu tahu puisi itu apa dan alat-alat puitikanya.

39. Hanya puisi-puisi yang baik dan kuat yang dikenang, dan tak lekang dari ingatan orang zaman ke zaman.

40. Puisi yang baik dan kuat itu membicarakan hal biasa dengan cara beda, yang tak biasa. Ketakbiasaan itu yang mencuri tempat dalam ingatan

41. Menyusun kalimat sok puitis itu gampang. Menghadirkan suasana puisi dalam kalimat yang sederhana saja? Itu tantangan berat!

42. Puisi itu bukan sekadar alat untuk melampiaskan perasaanmu. Bukan tempat memajang emosimu agar orang lain tahu.

43. Puisi yang baik? Saya contoh saja. "Aku Ingin"-nya Sapardi Djoko Damono adalah salah satunya. Bukan hanya baik, ini sajak yang luar biasa.

44. Gagasan menyajakkan keinginan mencintai dengan sederhana itu sangat orisinil. Biasa tapi luar biasa.

45. Gagasan itu kemudian didagingkan dengan keterampilan yang memukau. dua bait, masing-masing tiga larik. Padat, hemat, dan hidup.

46. Bahan sajak ini tidak istimewa. Kayu yang terbakar. Awan jelang hujan. Imajinasilah yang bikin itu jadi amsal yang dahsyat.

47. Apa yang lebih ikhlas dari awan yang jadi tiada demi mengadakan hujan? Dan cinta diibaratkan dengan itu.

48. Berjaraklah. Ambil waktu. Bagai pasang, biarkan surut. Kau bisa tahu setinggi apa air naik dari jejaknya di batang bakau.

49. Banyak sekali sajak cinta yang tak sampai sajak dan tak sampai cinta. Seperti luka, mereka tulis darah, bukan hakikat sakitnya.

50. Puisi itu upaya mewujudkan apa yang abstrak (rasa dan pikiran), ke dalam bahasa.

51. Bahasa, di hadapan puisi, seringkali tampak tak berdaya. Tugas penyair menggairahkannya.

52. Di mata puisi, bahasa kadang terlihat miskin, penyair harus bisa membuatnya kaya.

53. Ada kredo yang berhasil. Ada yang gagal. Ada penyair yang merumuskan kredonya, ada yang tak mampu, ada yang tak peduli.

54. Di hadapan sebuah Puisi, kita menikmati sebingkai lukisan, bukan poster pengumuman.

55. Di dalam puisi kerap dibenturkan hal-hal yang berlawanan. Membikin kontras. Hasilnya? Ironi-ironi jadi makin tampak jelas!

56. Di tangan penyair, demi puisi, bahasa harus jadi benda plastis. Ia mudah dibentuk jadi sosok menarik! Mengejutkan!

57. Puisi, kata Sutardji Calzoum Bachri, menyusun imaji-imaji. Cerpen? Menyusun peristiwa-peritiwa. Ia benar. Tapi, kita boleh tak patuh! Durhakalah!

58. Judul sajak terasa seperti nama benda, orang atau seperti kata/kata-kata untuk suatu kondisi, keadaan, dan hubungannya dengan sajak jadi unik.

59. Judul sajak bisa jadi macam-macam, ia bisa menjadi tanda, pemikat, pengingat, atau merek sajak. Ia bisa jadi ide pemicu sajak itu sendiri.

60. Puisi, bagiku seperti punya efek detoks pada otak. Dengan membaca dan menulis puisi, unsur-unsur kotor dalam pikiran dijerap dan dibuang.

61. Puisi yang baik punya ruang amat lapang di balik tatakatanya. Puisi yang baik memberi kunci bagi pintu rahasia untuk masuk ke ruang itu.

62. Puisi yang baik tak terbatas lingkungan pembacanya.

63. Puisi itu adalah sebuah penataan, sebuah komposisi. Kata: maknanya, bunyinya, semua memungkinkan untuk ditata. Itulah asyiknya!

64. Dalam teks tulis, puisi bahkan bisa ditata lebih gila: tipografi. Itu ditata dengan alur larik, arus bait, ruang spasi, dan pemenggalan.

65. Menulis puisi juga semacam kerja cerdik-cendikia. Ada proses olah pikir untuk melahirkannya. Tapi, hasilnya bukan sajak yg sok pintar.

66. Bila menulis puisi semacam striptis batin, maka, membaca puisi itu seperti menonton striptis.

67. Sebagai penonton tentu kita berharap bisa menemukan utuh tubuh puisi itu. Ia mungkin mula-mula datang dengan pakaian lengkap.

68. Yang paling nikmat, tentu saat kita berdebar-debar seiring tanggalnya satu per satu pakaian si puisi menampakkan rahasianya.

69. Puisi yang tak tertelanjangi, ibarat penari berkimono tebal, hingga akhir pertunjukan tetap berkimono. Tak sedap dibaca, kan?

70. Puisi yang baik, ia tak langsung datang telanjang. Aduh, jangan selekas itu! Pembaca yang baik menuntut ketegangan pertunjukan.

71. Puisi yang baik adalah penari yang tak terus membuka pakaian. Selalu ada lapisan baru tersibak. Tak pernah telanjang sempurna.

72. Bahasa itu tumbuh, dan hidup. Kata-kata lahir, dan juga mati, atau sekarat. Begitulah!

73. ADA unsur kepengrajinan dalam kerja menyair. Itu tidak buruk. Menyair tak melulu kontemplasi, olah pikir dan olah batin.

74. KEPENGRAJINAN bisa dilatih, dan harus. Ini yg menentukan seorang bisa produktif menyair. Ah, kata dasarnya aja rajin, kan?

75. Kepengrajinan berkaitan erat dengan kemampuan menguasai alat: perangkat puitik! Maka, kenalilah, apa gunanya, bagaimana pakainya.

76. Dengan menguasai perangkat puitik, maka satu kendala besar menulis puisi teratasi. Seperti megang pistol dengan peluru penuh rasanya.

77. Tidak semua alat harus dikerahkan saat menulis sebuah puisi. Pilih yang pas dan memungkinkan lahir puisi yang terunik dari bahan yg ada.

78. Hal kedua agar bisa produktif menulis puisi adalah senantiasa menambah penguasaan kota kata. Lahan bermain kita adalah padang kata!

79. Penyair haruslah ia yang menguasai kosakata lebih daripada ia yang bukan penyair. :-) Penyair bisa memberi nafas buatan pada kata yang sekarat.

80. Penyair harus menggairahkan kata yang malas, mempersolek kata kumal, memperamah kata yang angkuh! Lakukan itu, puisi akan menyerbumu!

81. Kadang banyak puisi lahir dari keterpesonaan penyair pada sebuah kata kunci saja! Perhatikan Joko Pinurbo yang menggarap kata celana, ranjang!

82. Bagaimana menghidupkan kata? Ada satu jurus: coba mereka-reka frasa. Sandingkan satu kata dengan kata lain: lihat betapa ajaibnya!

83. Coba rasakan frasa ini (saya buat secara spontan): ruang mata, lengan angan, langkah kata, mulut api, geram gurun!

84. Menyusun frasa adalah latihan menyair yang dahsyat. Dari frasa bisa lahir puisi yang hebat. Dan kau akan jadi penyair produktif.

85. Oh ya, foto dan lukisan bisa jadi inspirasi puisi. Saya banyak sajakkan lukisan Dali, Picasso, fotografer kontemporer.

86. Pernah juga tergoda ingin menyajakkan nama-nama donat di J.Co itu. Gila! Itu puitis banget! Tira Miss U, Berry Spears, hmm !


Share dari kak Tony (Pengurus Paradigma imaji 1)